Rabu, 29 Januari 2025

Mesin Dunia yang Hilang

 

Sumber : https://pin.it/1LnEJ3prU

Di sebuah kota yang dipenuhi menara baja dan teknologi canggih, Fida dan Rangga bukanlah insinyur biasa. Mereka adalah perancang mesin paling jenius di Aethera, sebuah negeri yang menggabungkan teknologi dan sihir.

Fida, dengan kepintarannya dalam mekanika presisi, bisa membangun mesin sekecil jam tangan hingga sebesar kapal udara. Rangga, di sisi lain, adalah ahli energi dan bahan bakar, menemukan cara mengubah angin, listrik, bahkan cahaya bulan menjadi sumber tenaga.

Namun, semua berubah ketika mereka menemukan cetak biru mesin kuno—sebuah desain yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.


Bab 1: Cetak Biru yang Tak Terbaca

Suatu malam, Fida dan Rangga menerima sebuah paket tanpa pengirim. Di dalamnya ada gulungan kertas tua yang penuh dengan sketsa mekanik dan simbol aneh yang tidak dikenali.

“Ini… bukan desain biasa,” gumam Rangga, mengerutkan dahi.

Fida mengamati pola-pola di kertas itu. “Ada sesuatu di sini… seperti kombinasi antara teknologi dan alkimia.”

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menyadari satu hal: ini adalah cetak biru dari sebuah mesin yang tak pernah selesai dibuat.

Dan lebih mengejutkan lagi, ada tulisan samar di pojok bawahnya:

“Ditemukan di reruntuhan Kota Hilang, Zephyria.”

Zephyria? Kota yang disebut hanya dalam legenda?

Mereka tidak bisa mengabaikan ini.

Keingintahuan lebih kuat dari akal sehat.

Maka, perjalanan mereka pun dimulai.


Bab 2: Kota di Balik Kabut

Zephyria bukan sekadar mitos. Kota itu benar-benar ada—tersembunyi di balik lapisan kabut tebal di ujung dunia, tempat di mana waktu seolah berhenti.

Setelah berhari-hari melakukan perjalanan dengan kapal udara, mereka akhirnya melihatnya: reruntuhan Zephyria, kota yang konon menghilang dari peta ratusan tahun lalu.

Saat mereka memasuki kota itu, mesin-mesin kuno berkarat tersebar di mana-mana, tetapi beberapa masih berdetak pelan—seperti sedang menunggu seseorang untuk membangunkannya kembali.

Dan di pusat kota, mereka menemukan sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan.

Sebuah mesin raksasa, setinggi menara, berbentuk seperti jam besar dengan roda gigi rumit yang membeku dalam waktu.

Di atasnya, ada tulisan dalam bahasa yang mereka akhirnya pahami:

“Mesin ini adalah jantung Zephyria. Tanpanya, kota ini akan tertidur selamanya.”

Dan di sanalah jawaban dari cetak biru yang mereka temukan.

Mereka tidak hanya menemukan kota yang hilang—mereka menemukan jantungnya.


Bab 3: Rahasia Mesin Waktu

Saat Fida dan Rangga mulai mempelajari mesin itu, mereka menyadari sesuatu yang mengejutkan:

Mesin ini bukan hanya mesin biasa.

Itu adalah mesin pengendali waktu.

“Ini bukan sekadar teknologi… ini adalah gabungan antara mekanik dan sihir,” ujar Fida kagum.

Rangga menyentuh salah satu roda giginya yang berkarat. “Jika kita bisa memperbaikinya… kita mungkin bisa melihat masa lalu. Bahkan… mengubahnya.”

Namun, sebelum mereka bisa mengambil keputusan, tanah di bawah mereka mulai bergetar.

Dan tiba-tiba, mereka tidak lagi sendirian.


Bab 4: Penjaga Kota yang Terlupakan

Dari balik bayangan, sosok tinggi berjubah besi muncul. Mata mereka bersinar biru, suara mereka dalam dan bergema.

“Siapa yang berani membangunkan Zephyria?”

Fida dan Rangga mundur, tapi tidak bisa pergi. Pintu masuk telah tertutup di belakang mereka.

“Nama kami Fida dan Rangga. Kami hanya ingin memahami mesin ini,” ujar Rangga dengan hati-hati.

Salah satu penjaga mendekat, menatap mereka lama sebelum akhirnya berbicara.

“Mesin ini bukan untuk dimainkan. Ini adalah penyeimbang dunia. Apakah kalian siap menanggung akibatnya jika mengubah masa lalu?”

Fida dan Rangga saling bertukar pandang.

Mereka bisa melihat masa lalu? Mengubahnya?

Pikiran tentang kesempatan untuk memperbaiki kesalahan manusia terdengar menggoda… tetapi juga berbahaya.

Mereka harus membuat keputusan.


Bab 5: Keputusan Terakhir

Setelah berpikir panjang, Fida dan Rangga akhirnya sepakat:

Mereka tidak akan mengubah masa lalu.

Namun, mereka bisa melakukan sesuatu yang lebih baik: menghidupkan kembali Zephyria, tanpa mengacaukan keseimbangan dunia.

Dengan bantuan penjaga, mereka mulai bekerja.

Roda gigi yang telah berkarat diperbaiki, jalur energi diperbarui, dan perlahan, mesin mulai berdetak kembali.

Saat mesin itu aktif, sesuatu yang luar biasa terjadi—kota yang selama ini terbungkus kabut mulai muncul kembali ke dunia.

Gedung-gedung yang runtuh perlahan kembali berdiri. Cahaya kembali menyala di dalam jendela-jendela tua. Dan suara kehidupan kembali terdengar.

Zephyria… tidak lagi menjadi kota yang hilang.

Ia kembali.

Dan semua karena dua insinyur yang tidak takut menghadapi ketidakmungkinan.


Epilog: Dunia yang Baru

Fida dan Rangga tidak hanya menemukan sebuah kota, tapi juga sebuah pengetahuan yang seharusnya sudah hilang dalam sejarah.

Namun, mereka tahu—beberapa penemuan tidak untuk dimiliki, tapi untuk dijaga.

Maka, mereka tidak membawa pulang teknologi Zephyria.

Mereka meninggalkannya untuk dunia, untuk siapapun yang bisa menemukannya di masa depan.

Sebelum mereka pergi, salah satu penjaga berbisik,

“Kalian tidak mengubah masa lalu, tapi kalian mengubah masa depan.”

Dan dengan itu, mereka terbang kembali ke dunia mereka—dengan cerita yang tidak akan pernah mereka ceritakan pada siapa pun.

Karena beberapa rahasia… lebih baik tetap menjadi legenda.

TAMAT.

Permainan Terakhir

 


Kak Gem dan Joana bukan sekadar kakak beradik—mereka adalah satu-satunya keluarga yang tersisa bagi satu sama lain. Sejak orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan tragis, mereka hidup dengan saling mengandalkan.


Namun, hidup keras dan utang yang menumpuk membuat mereka berada di titik terendah. Hingga suatu hari, mereka mendapat undangan misterius.


Sebuah pesan muncul di ponsel Kak Gem:


“Bergabunglah dalam permainan ini. Menangkan hadiah besar, atau kehilangan segalanya. Tidak ada jalan keluar.”


Joana yang penasaran langsung ingin tahu lebih banyak. Tapi Kak Gem merasakan ada sesuatu yang janggal.


Terlambat.


Mereka sudah terjebak dalam permainan yang tak mereka pahami.



---


Bab 1: Arena Permainan


Ketika mereka membuka mata, mereka sudah berada di sebuah ruangan luas berwarna putih dengan ratusan orang lain berpakaian seragam hitam. Langit-langit ruangan terlalu tinggi, membuat mereka merasa kecil.


Suara mekanis menggema di udara.


“Selamat datang di Permainan Terakhir. Hanya ada satu aturan: bertahan hidup.”


Seketika, tembok di sekitar mereka berubah menjadi layar raksasa yang menampilkan peta dunia permainan. Sebuah dunia digital yang menyerupai kota masa depan, tapi dengan jebakan dan tantangan mematikan di setiap sudutnya.


Mereka baru menyadari ini bukan dunia nyata.


Mereka telah menjadi bagian dari sebuah game kematian.



---


Bab 2: Permainan Pertama - Labirin Tanpa Akhir


Layar di tengah ruangan menampilkan tantangan pertama: “Labirin Tanpa Akhir”.


Tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergeser, membentuk jalur-jalur berliku yang bergerak seperti mesin raksasa. Semua orang terpencar dalam hitungan detik.


“Kak Gem!!” Joana berteriak, panik saat kakaknya menghilang di balik dinding bergerak.


Kak Gem, yang selalu tenang, menenangkan dirinya sendiri. Ia harus menemukan Joana sebelum waktu habis.


Di layar di atas mereka, waktu terus berkurang: 30 menit… 29 menit…


Salah langkah sedikit saja, tembok bisa menutup dan menghancurkan mereka hidup-hidup.


Joana berlari melewati lorong sempit, nafasnya memburu. Tiba-tiba, suara dari belakangnya terdengar—langkah kaki cepat dan kasar.


Seseorang mengejarnya.


Bukan hanya permainan ini berbahaya, tapi ada pemain lain yang akan melakukan apa saja untuk bertahan.



---


Bab 3: Pengkhianatan di Tengah Permainan


Setelah hampir kehabisan waktu, Kak Gem akhirnya menemukan Joana. Mereka berhasil keluar dari labirin tepat sebelum dinding menutup rapat.


Namun, mereka baru sadar bahwa hanya setengah dari peserta yang berhasil bertahan.


Permainan ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang mengorbankan orang lain.


Di permainan berikutnya, mereka harus bekerja sama dengan pemain lain. Tapi siapa yang bisa dipercaya?


Seorang pria bernama Raka mendekati mereka. “Aku tahu cara keluar dari sini,” bisiknya.


Joana, yang masih berharap ada jalan keluar tanpa kekerasan, ingin percaya. Tapi Kak Gem tak yakin.


Ia tahu—di permainan ini, kepercayaan adalah senjata yang bisa membunuhmu.



---


Bab 4: Pertarungan Terakhir


Setelah melewati berbagai tantangan—balapan di atas jembatan kaca rapuh, teka-teki berbahaya yang bisa menghabisi mereka dalam sekejap—hanya tersisa tiga pemain:


Kak Gem, Joana, dan Raka.


Permainan terakhir diumumkan: hanya satu orang yang bisa keluar hidup-hidup.


Joana menatap Kakaknya. “Kita tidak harus mengikuti aturan mereka.”


Raka, di sisi lain, sudah bersiap bertarung. “Jangan bodoh. Jika kalian tidak bertarung, kalian akan mati.”


Kak Gem menatap Joana, lalu menatap arena di sekeliling mereka. Ia menarik napas dalam.


Dan tersenyum.


“Kita buat aturan sendiri.”


Saat wasit permainan menghitung mundur, Kak Gem menyerang langsung ke arah Raka—bukan untuk membunuhnya, tapi untuk membuatnya kehilangan keseimbangan.


Lalu ia berbisik pada Joana, “Lari.”


Tapi sebelum Joana bisa melakukan apa pun, sesuatu yang tak terduga terjadi—dunia permainan mulai runtuh.


Suara sistem menggelegar di udara:


“Kesalahan sistem. Pemrograman terganggu. Permainan dihentikan.”


Joana dan Kak Gem terjatuh ke dalam kehampaan, sementara cahaya terang mengelilingi mereka.


Dan ketika mereka membuka mata—


Mereka kembali ke dunia nyata.



---


Bab 5: Kemenangan Tanpa Darah


Joana terbangun di kamar mereka. Udara dingin menyentuh kulitnya.


Semuanya terasa nyata.


Terlalu nyata.


Ia melihat Kak Gem duduk di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela.


“…Kita berhasil?” Joana bertanya dengan suara pelan.


Kak Gem mengangguk. “Ya.”


Tapi ada satu hal yang masih menghantuinya.


Siapa yang menciptakan permainan itu? Kenapa mereka dipilih?


Ponsel Kak Gem tiba-tiba berbunyi.


Sebuah pesan masuk:


“Selamat. Kalian adalah pemenang pertama yang menyelesaikan permainan tanpa membunuh siapa pun. Tapi ini belum berakhir. Kami akan bertemu lagi.”


Kak Gem 

menatap Joana dengan ekspresi serius.


Mereka mungkin sudah keluar dari permainan.


Tapi permainan ini… belum benar-benar selesai.


TAMAT.


Sayap di Antara Dua Dunia


Di jantung Hutan Lumora, di antara pepohonan raksasa yang berkilauan dan sungai yang mengalir dengan cahaya perak, terdapat Kerajaan Peri Aveloria, dunia tersembunyi yang tak bisa dilihat manusia.


Bunga adalah salah satu peri penjaga di sana—anggun, lincah, dan memiliki sayap ungu lembut seperti kelopak mawar yang baru mekar. Tugasnya menjaga keseimbangan alam, memastikan bunga bermekaran dan hujan turun pada waktunya.


Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu Fattah—seorang manusia yang seharusnya tidak bisa melihatnya.



---


Bab 1: Pertemuan di Tengah Hujan


Hari itu hujan turun lebih lama dari biasanya. Bunga seharusnya kembali ke istana, tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya—seorang manusia duduk di bawah pohon ek tua, membiarkan dirinya basah tanpa berusaha mencari perlindungan.


Matanya terlihat dalam, penuh pikiran, namun tak kosong. Ada luka, ada kesedihan.


Peri tidak seharusnya terlalu dekat dengan manusia, tetapi ada sesuatu tentang pria ini yang membuat Bunga melayang turun.


“Kamu kenapa duduk di sini?” tanyanya tanpa sadar.


Yang mengejutkan, pria itu menoleh dan langsung menatap matanya.


“Kamu bisa bicara?”


Bunga membeku. Tidak ada manusia yang bisa melihatnya—tapi Fattah bisa.



---


Bab 2: Rahasia yang Terungkap


Sejak hari itu, Bunga mulai sering mengunjungi Fattah. Awalnya, ia ingin tahu bagaimana pria itu bisa melihatnya. Namun, semakin sering mereka berbincang, semakin ia menyadari bahwa bukan hanya jawabannya yang menariknya kembali—tapi juga kehadiran Fattah sendiri.


Fattah adalah seorang pelukis yang mencari inspirasi di hutan ini. Ia memiliki “mata jiwa”, bakat langka yang hanya dimiliki oleh manusia dengan hati terbuka terhadap dunia sihir.


“Jadi, aku ini spesial?” tanya Fattah dengan senyum kecil saat mereka duduk di tepi sungai yang berkilauan.


Bunga menggeleng sambil tersenyum. “Mungkin. Atau mungkin aku yang bodoh karena berbicara dengan manusia.”


Namun, hari demi hari, ia selalu kembali.


Dan setiap kali mereka berbicara, sesuatu di hatinya mulai berubah.



---


Bab 3: Cinta yang Terlarang


Di Aveloria, mencintai manusia adalah larangan besar.


Ketika Ratu Peri mengetahui hubungan mereka, ia memanggil Bunga ke istana.


“Kamu tahu hukumnya,” suara sang ratu dingin. “Jika kamu terus berhubungan dengan manusia itu, sayapmu akan dicabut, dan kamu akan diasingkan.”


Bunga menunduk. Ia tahu risikonya, tapi bagaimana bisa ia berpura-pura tidak mengenal Fattah?


“Apa tidak ada cara lain?” tanyanya pelan.


Ratu menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas. “Ada satu cara. Tapi tidak mudah.”


Ada ritual kuno, keajaiban yang bisa mengubah manusia menjadi peri. Namun, ritual ini sangat sulit. Jika gagal, Fattah akan kehilangan ingatannya tentang Bunga selamanya.



---


Bab 4: Ujian Cinta


Di bawah Pohon Elaris, tempat di mana sihir kehidupan paling kuat, Fattah dan Bunga berdiri dalam lingkaran cahaya bulan.


“Kamu yakin ingin melakukan ini?” tanya Fattah.


Bunga menatapnya. “Aku lebih takut kehilanganmu daripada gagal.”


Ritual dimulai. Cahaya biru keemasan mengelilingi mereka, mengikat hati dan jiwa mereka dalam satu getaran magis. Jika cinta mereka tidak cukup kuat, ini akan menjadi perpisahan selamanya.


Fattah merasakan tubuhnya menjadi ringan. Sayap-sayap halus mulai muncul di punggungnya, matanya berkilauan seperti bintang di langit Aveloria.


Mereka berhasil.


Bunga tersenyum, air matanya jatuh bukan karena kesedihan, tetapi kebahagiaan.


Fattah bukan lagi manusia biasa. Ia kini bagian dari dunianya.



---


Bab 5: Hidup Selamanya di Aveloria


Ketika mereka kembali ke kerajaan, sang Ratu yang awalnya ragu akhirnya mengakui cinta mereka memang murni—cukup kuat untuk melampaui batasan dunia.


Fattah kini menjadi bagian dari Aveloria, belajar memahami dunianya yang baru. Ia dan Bunga tidak lagi harus bersembunyi atau memilih antara dua dunia.


Mereka memilih satu dunia—dunia yang mereka ciptakan bersama.


Di tengah hutan bercahaya, di bawah langit penuh bintang, mereka terbang berdampingan, merasakan angin lembut membawa mereka ke tempat yang belum pernah mereka jelajahi sebelum

nya.


Untuk pertama kalinya, Bunga tahu bahwa cinta sejati bukan hanya ada di dongeng.


TAMAT.


Di Balik Gerbang Aetheria


Gambar dibuat oleh AI


Intan tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Ia hanyalah mahasiswi biasa, tenggelam dalam rutinitas kuliah dan tugas yang tiada habisnya. Dunia baginya adalah sekadar buku teks, kopi pahit, dan mimpi-mimpi yang terlalu jauh untuk digapai.


Namun, semua berubah ketika ia dan teman sekelasnya, Aldrian—lelaki tampan dengan sorot mata tajam dan kecerdasan yang sulit ditandingi—menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ada: sebuah gerbang bercahaya di ruang arsip universitas.



---


Bab 1: Pintu ke Dunia Lain


Malam itu, Intan dan Aldrian terjebak di perpustakaan kampus karena tugas kelompok yang tak kunjung selesai. Ruangan sunyi, hanya diisi suara kertas yang berdesir dan detak jam dinding.


“Seharusnya kita bisa menyelesaikan ini lebih cepat kalau kamu nggak terlalu perfeksionis,” keluh Intan, meregangkan punggungnya.


Aldrian menatap layar laptopnya tanpa ekspresi. “Dan kalau kamu nggak terlalu suka menunda, kita nggak akan begadang di sini.”


Intan mendengus kesal. Sebelum ia bisa membalas, terdengar bunyi gemuruh dari balik rak buku di sudut ruangan.


“Apa itu?” Aldrian langsung berdiri.


Mereka saling berpandangan sebelum berjalan ke sumber suara. Rak buku yang seharusnya menempel ke dinding kini sedikit bergeser, menampakkan celah yang cukup besar untuk dilewati.


“Sejak kapan ada ruangan di sini?” gumam Intan.


Aldrian, yang selalu lebih penasaran dari yang seharusnya, melangkah masuk tanpa berpikir dua kali. Intan, meski ragu, mengikuti di belakangnya.


Di balik rak itu, ada sesuatu yang tidak masuk akal: sebuah gerbang berbentuk lingkaran, berpendar dengan cahaya biru keemasan, mengambang tanpa penyangga di tengah ruangan. Udara di sekitarnya bergetar, seolah menyimpan energi yang tidak berasal dari dunia ini.


“Ini... mustahil,” bisik Aldrian.


Namun sebelum mereka bisa memproses apa yang terjadi, cahaya dari gerbang itu semakin terang—dan dalam sekejap, mereka tersedot masuk.



---


Bab 2: Aetheria, Dunia yang Terlupakan


Mereka jatuh, bukan ke tanah, melainkan ke lautan cahaya. Dunia di sekitar mereka perlahan terbentuk—langit ungu dengan dua bulan menggantung di atasnya, pepohonan raksasa dengan daun berkilauan seperti kristal, dan udara yang terasa lebih ringan, lebih bersih.


“Aldrian... kita ada di mana?” suara Intan bergetar.


Aldrian tidak menjawab. Matanya terpaku pada sesuatu di kejauhan—sebuah kota dengan menara-menara menjulang, jalan-jalan yang berpendar, dan makhluk-makhluk asing yang berjalan di antara manusia.


Kemudian, suara nyaring terdengar.


“Kalian bukan berasal dari sini.”


Mereka menoleh. Seorang pria berambut putih panjang berdiri di depan mereka, mengenakan jubah hitam dengan simbol aneh di dadanya. Mata emasnya menatap mereka tajam.


“Aku Lysander, penjaga Aetheria,” katanya. “Dan kalian telah melanggar batas antara dunia.”



---


Bab 3: Ramalan yang Hilang


Aetheria adalah dunia yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang terpilih. Keberadaan Intan dan Aldrian di sini bukan kebetulan—mereka adalah bagian dari sebuah ramalan kuno, tentang dua manusia yang akan datang untuk menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.


“Ramalan itu mengatakan bahwa dua jiwa dari dunia lain akan datang melalui Gerbang Cahaya, membawa keseimbangan bagi Aetheria,” kata Lysander.


Intan tertawa kecil, mencoba menyangkal. “Kami cuma mahasiswa biasa. Kami bahkan nggak tahu bagaimana kami bisa sampai ke sini.”


Namun Aldrian tampak berpikir keras. “Kalau ada gerbang yang membawa kami ke sini, berarti pasti ada cara untuk kembali, kan?”


Lysander menghela napas. “Kalian bisa kembali, tapi tidak sebelum takdir kalian terpenuhi. Aetheria sedang dalam bahaya, dan hanya kalian yang bisa menghentikan kehancurannya.”


Dunia ini sedang dilanda perang antara dua faksi besar: Ordo Lumina, yang menjaga keseimbangan sihir, dan Klan Umbra, yang menginginkan kekuatan absolut. Jika perang terus berlanjut, Aetheria akan hancur—dan gerbang antara dunia mereka juga akan menghilang selamanya.


Mau tidak mau, Intan dan Aldrian harus berjuang.



---


Bab 4: Perjalanan Melawan Waktu


Mereka memulai perjalanan mereka, dari istana terapung di langit hingga ke lembah-lembah tersembunyi yang dihuni makhluk-makhluk legenda. Bersama Lysander dan pasukan Ordo Lumina, mereka mempelajari sihir dan strategi, berlatih bertarung, serta memahami dunia yang kini bergantung pada mereka.


Di antara pertempuran dan perjalanan panjang, Intan dan Aldrian mulai menyadari sesuatu: mereka tidak hanya saling melengkapi dalam misi ini, tetapi juga dalam cara yang lebih dalam.


Mereka bertengkar, berdebat, tapi juga saling melindungi dan menguatkan.


Hingga akhirnya, dalam pertarungan terakhir melawan pemimpin Klan Umbra, mereka harus mengambil keputusan yang sulit.


“Salah satu dari kita harus tetap di sini,” kata Aldrian.


Intan menatapnya kaget. “Apa maksudmu?”


“Jika kita berdua pergi, keseimbangan dunia ini akan hancur. Tapi jika salah satu dari kita tinggal, Aetheria akan selamat, dan yang lain bisa kembali ke dunia asal.”


Intan merasa dadanya mencengkeram rasa sakit yang tak terduga. Ia tidak ingin berpisah.


Tapi sebelum ia bisa berbicara, Aldrian tersenyum kecil. “Aku akan tinggal.”


“Tidak!” Intan hampir menangis. “Jangan lakukan ini!”


Namun Aldrian hanya mengusap rambutnya perlahan. “Aku lebih berguna di sini. Kamu yang harus kembali.”


Dengan kata-kata terakhir itu, Aldrian melepaskan sihir yang ia pelajari, menutup portal dan mengorbankan dirinya demi keseimbangan Aetheria.



---


Bab 5: Kembali ke Dunia Lama


Ketika Intan membuka matanya, ia kembali berada di perpustakaan universitas. Semua terasa seperti mimpi—tapi ia tahu itu nyata.


Tidak ada lagi portal, tidak ada lagi Aetheria. Hanya dirinya... tanpa Aldrian.


Namun, ia tidak menyerah.


Di dalam hatinya, ia tahu bahwa jika gerbang bisa terbuka sekali, maka pasti ada cara untuk membukanya lagi.


Dan suatu hari nanti, ia akan menemukan jalannya kembali ke Aldrian.


Hingga saat itu tiba, ia akan menjaga rahasia ini, merawat kenangan mereka, dan hidup dengan keyakinan bahwa takdir belum selesai menuliskan kisah mereka.


TAMAT.


Celestial: Perjalanan Tanpa Kembali

 

Gambar dibuat oleh AI


Joana dan Mohan tidak pernah percaya pada keajaiban. Mereka adalah ilmuwan, peneliti di Institut Penelitian Kuantum, yang menghabiskan bertahun-tahun mencoba membuktikan keberadaan dunia paralel dengan logika dan perhitungan.


Mereka tidak menduga bahwa suatu malam, mereka akan membuktikan teori mereka dengan cara yang paling berbahaya: menjadi bagian dari eksperimen itu sendiri.


Gerbang yang Terbuka


Di tengah laboratorium mereka, sebuah portal berbentuk cincin berdiri tegak. Cahaya biru berpendar dari dalamnya, riak-riak energi seperti air yang bergetar. Itu adalah hasil dari eksperimen mereka—sebuah gerbang ke dunia lain.


"Apa yang ada di balik sana?" tanya Mohan, matanya terpaku pada cahaya yang berdenyut.


Joana menggeleng. "Hanya ada satu cara untuk tahu."


Tanpa ragu, ia melangkah ke dalam portal, dan Mohan, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan, mengikutinya.


Dunia yang Retak


Mereka jatuh ke dalam kehampaan. Bukan jatuh secara fisik, tetapi seakan-akan tubuh mereka tercerai berai lalu disusun kembali.


Saat mereka membuka mata, dunia di sekitar mereka begitu asing. Langit berwarna abu-abu gelap dengan retakan-retakan cahaya seperti kaca pecah. Bangunan berdiri dalam sudut-sudut yang mustahil, seolah melawan gravitasi.


"Ini bukan dunia yang seharusnya ada," gumam Joana.


Lalu mereka mendengar suara.


"Kalian tidak seharusnya berada di sini."


Seorang pria berdiri di hadapan mereka. Tubuhnya seperti refleksi langit yang retak, matanya berpendar seperti bintang.


"Aku Eryon," katanya. "Dan kalian baru saja masuk ke dalam dunia yang sekarat."


Pilihan yang Tak Terelakkan


Eryon menjelaskan bahwa dunia ini bukan sekadar dunia paralel—ini adalah dunia yang gagal. Sebuah realitas yang seharusnya tidak pernah ada, tapi tetap bertahan di antara kehampaan.


"Dan sekarang kalian terjebak di sini," katanya.


Mohan menelan ludah. "Lalu bagaimana kami keluar?"


Eryon menatap mereka dengan ekspresi muram. "Kalian bisa mencoba kembali. Tapi untuk membuka portal kembali ke dunia asal, ada harga yang harus dibayar."


Joana menatapnya tajam. "Harga seperti apa?"


"Seseorang harus tetap tinggal."


Dunia ini tidak mengizinkan sesuatu pergi tanpa imbalan. Untuk keluar, salah satu dari mereka harus menjadi jangkar yang menahan portal tetap terbuka.


Mohan langsung menggeleng. "Tidak. Pasti ada cara lain."


"Tidak ada," jawab Eryon datar. "Aku tahu, karena aku pernah mencoba. Aku adalah satu-satunya yang tersisa dari kelompokku. Dan aku memilih untuk tetap ada... di sini."


Keputusan Terakhir


Joana dan Mohan berdiri di ambang singularitas—titik di mana dunia ini bertemu dengan dimensi lain. Cahaya berputar di sekitar mereka, energi yang bisa membawa mereka kembali.


Joana menarik napas dalam. "Aku akan tinggal."


Mohan menatapnya ngeri. "Tidak, Joana! Aku tidak bisa meninggalkanmu!"


"Kita tidak punya pilihan, Mohan," katanya pelan. "Kau harus kembali dan memastikan tidak ada orang lain yang masuk ke sini."


Air mata menggenang di mata Mohan. "Tapi bagaimana denganmu?"


Joana tersenyum. "Aku akan menemukan jalan keluar. Atau aku akan menciptakannya sendiri."


Tanpa menunggu jawaban, ia mendorong Mohan ke dalam cahaya. Mohan ingin menolak, tetapi kekuatan portal menariknya masuk.


Dalam sekejap, Joana melihatnya menghilang.


Lalu, dunia di sekitarnya mulai hancur.


Epiloq: Antara Realitas


Mohan terbangun di laboratorium. Portal itu telah padam, dan tidak ada tanda-tanda Joana.


Ia mencoba membukanya kembali. Mencari cara untuk kembali. Tapi dunia itu telah tertutup, seakan-akan tidak pernah ada.


Namun, setiap malam, saat ia menatap langit, ia merasa ada seseorang di luar sana—seseorang yang masih berjuang untuk kembali.


Dan ia berjanji, ia tidak akan menyerah sampai Joana kembali.


TAMAT.


Selasa, 21 Januari 2025

Melodi di Dimensi Lain

 

Sumber : https://pin.it/6CfMsJFyV

Dunia ini terasa semakin membosankan bagi Clara, seorang remaja berusia 17 tahun yang tinggal di sebuah kota besar yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi dan jalanan yang sibuk. Meskipun dikelilingi oleh teknologi canggih dan segala fasilitas modern, Clara merasa kosong. Setiap hari adalah rutinitas yang sama: sekolah, pulang, mengerjakan tugas, dan tidur. Ia tidak merasa terhubung dengan dunia di sekitarnya. Ada bagian dalam dirinya yang selalu merasa ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang hilang.


Suatu malam, ketika Clara sedang duduk di balkon kamarnya sambil mendengarkan musik di headphone, sebuah suara aneh muncul dari dalam telinganya. Sebuah melodi yang tidak bisa ia kenali, namun terasa sangat familiar. Suara itu berputar-putar di pikirannya, seperti panggilan dari dunia lain. Clara melepas headphone-nya dan menoleh ke sekeliling. Semua tampak biasa, tetapi suara itu tetap bergema dalam kepalanya.


Tiba-tiba, lampu kamar Clara berkedip dan cermin besar di dinding mulai bergetar. Clara mendekati cermin itu dengan hati-hati. Perlahan-lahan, cermin itu mulai berbalik, menampakkan sebuah dunia yang berbeda. Dunia yang tampaknya lebih hidup—lebih berwarna dan lebih penuh dengan musik. Sebuah dunia yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Di balik cermin itu, ada sebuah kota yang penuh dengan makhluk-makhluk aneh yang bergerak mengikuti irama musik.


Tanpa berpikir panjang, Clara melangkah maju dan menyentuh cermin itu. Begitu ia menyentuh permukaan cermin, sebuah kekuatan besar menariknya ke dalam dunia yang baru. Clara terjatuh di jalanan kota yang berkilauan. Begitu ia berdiri, ia terkejut melihat langit yang berwarna violet dengan garis-garis cahaya yang bergerak seperti gelombang suara.


Clara menyadari bahwa ia berada di dunia yang benar-benar berbeda. Kota itu, yang disebut Harmonia, adalah dunia yang seluruhnya berpusat pada musik. Setiap jalanan dipenuhi dengan instrumen musik yang mengalirkan melodi di udara, dan setiap bangunan berdesing dengan nada-nada yang berubah sesuai dengan pergerakan penduduk. Bahkan, makhluk-makhluk yang menghuni kota itu, seperti manusia dengan tubuh transparan, atau hewan yang berbentuk seperti alat musik, semuanya bergerak mengikuti ritme musik yang tak terlihat.


Di tengah kebingungannya, Clara bertemu dengan seorang gadis bernama Lira, yang mengenakan pakaian berwarna perak dan membawa alat musik tiup. Lira menjelaskan bahwa Harmonia adalah sebuah dimensi yang berfungsi sebagai sumber musik bagi banyak dunia lainnya, termasuk dunia asal Clara. Namun, Harmonia sedang terancam, karena sebuah kekuatan jahat yang dikenal sebagai "Dissonance" mulai mengacaukan irama alam semesta.


"Dissonance?" tanya Clara, bingung.


"Ya," jawab Lira dengan nada serius. "Dissonance adalah kekuatan yang mencoba memutuskan aliran musik dan menciptakan kekacauan di seluruh dunia. Tanpa irama yang harmonis, dunia ini akan runtuh."


Clara merasa terhanyut dalam penjelasan Lira, tetapi juga merasa ada yang aneh. Ia merasakan sebuah tarikan misterius dalam dirinya, seperti ada hubungan yang lebih dalam antara dirinya dan dunia Harmonia ini. Tiba-tiba, Lira memberikan sebuah alat musik kecil berbentuk seperti biola.


"Ini adalah Alat Melodi. Hanya mereka yang memiliki hubungan dengan musik sejati yang bisa menggunakannya. Mungkin, kamu adalah orang yang kami cari."


Lira membawa Clara berkeliling kota Harmonia, mengenalkannya pada berbagai tempat yang penuh dengan keajaiban musik. Ada tempat di mana pepohonan tumbuh dengan melodi yang indah, dan ada pula laut yang ombaknya dipengaruhi oleh aransemen musik yang dimainkan oleh hewan laut berwarna emas. Namun, Harmonia juga menyimpan banyak bahaya. Makhluk-makhluk yang terinfeksi oleh Dissonance mulai muncul, menghancurkan irama dan menciptakan kekacauan.


Clara belajar untuk mengendalikan Alat Melodi dengan bimbingan Lira. Alat itu bukan sekadar alat musik biasa; ia juga bisa digunakan untuk menyelaraskan energi musik yang ada di sekitar mereka, mengembalikan keharmonisan yang terganggu. Setiap kali Clara memainkan alat musik itu, aliran energi di Harmonia menjadi lebih kuat, dan Dissonance yang menyerang mereka mulai mundur.


Namun, perjalanan mereka menuju pusat Harmonia untuk menghadapi Dissonance ternyata jauh lebih sulit dari yang mereka bayangkan. Mereka harus melewati berbagai medan yang penuh dengan jebakan musik yang disusun oleh Dissonance untuk mengacaukan mereka. Setiap langkah membawa Clara lebih dekat pada kekuatan jahat yang berusaha menghapus irama Harmonia.


Akhirnya, Clara dan Lira sampai di pusat Harmonia, di mana Dissonance bersemayam. Dissonance itu tidak berbentuk seperti makhluk hidup biasa, melainkan sebuah kekuatan yang mengalirkan gelombang suara rendah yang bisa mematikan aliran energi musik di seluruh dunia. Ia berada di tengah-tengah sebuah ruangan besar yang gelap, dikelilingi oleh gelombang-gelombang hitam yang membelenggu segala hal yang bersentuhan dengan mereka.


"Dengarkan aku, Clara," kata Lira, menatap Clara dengan mata penuh harapan. "Hanya kamu yang bisa menyelamatkan Harmonia. Kamu adalah kunci yang akan mengembalikan keseimbangan musik. Mainkanlah Melodi Harmoni yang sejati, dan dunia ini akan selamat."


Clara memegang Alat Melodi dengan erat, meskipun tangan dan tubuhnya terasa lemah. Ketika ia mulai memainkan melodi pertama, suasana di sekitar mereka mulai berubah. Melodi itu mengalir lembut, tetapi semakin lama, semakin kuat. Cahaya terang mulai menyelimuti ruangan, dan gelombang-gelombang hitam Dissonance mulai terpecah.


Namun, saat Clara melanjutkan untuk memainkan melodi terakhir, ia merasakan sebuah tekanan kuat. Dissonance berusaha mengalirkan gelombang suara yang sangat rendah, mencoba memecahkan keharmonisan yang Clara ciptakan. Clara merasa dirinya hampir menyerah, namun ingatan akan kebosanan dan kehampaan yang ia rasakan di dunia asalnya memberikan kekuatan baru. Ia memainkan satu nada terakhir dengan segenap kekuatan hatinya.


Dengan melodi yang terakhir itu, Harmonia bergetar, dan Dissonance akhirnya hancur. Ruangan yang gelap itu kembali terang, dan Harmonia kembali harmonis seperti semula.


Setelah kekalahan Dissonance, Clara merasa dunia Harmonia semakin stabil. Semua makhluk yang terinfeksi pulih kembali, dan Harmonia mulai bernyanyi dengan melodi yang penuh kehidupan. Namun, Clara tahu bahwa ia harus kembali ke dunia asalnya.


"Lira," kata Clara, "Apakah aku bisa kembali?"


Lira mengangguk, "Tentu saja. Melodi yang kamu mainkan telah mengubah nasib Harmonia, dan sekarang kamu telah menemukan kembali irama dalam hidupmu. Kamu akan selalu terhubung dengan dunia ini."


Clara melangkah kembali ke cermin yang membawanya ke Harmonia. Saat ia menatap dunia yang familiar di balik cermin itu, ia merasa hati yang penuh—terisi dengan melodi yang indah. Ia tahu bahwa meskipun dunia asalnya mungkin tidak berubah, dirinya telah berubah. Clara kini tahu bahwa hidupnya punya melodi, dan ia tak akan pernah merasa kosong lagi.


Moral Cerita:

Terkadang, kita perlu melangkah keluar dari rutinitas dan dunia yang kita kenal untuk menemukan keseimbangan dan melodi sejati dalam hidup kita. Setiap orang memiliki irama yang unik, dan ketika kita menemukan itu, kita bisa membuat dunia di sekitar kita lebih harmonis.

Jejak Joana di Hutan Paralel

Sumber : https://pin.it/5EjRuF5Vc
 

Joana adalah seekor rubah betina yang tinggal di pinggiran hutan tua. Ia terkenal dengan kecerdasannya, tetapi di dalam hati, ia selalu merasa tidak puas dengan hidupnya. Ia sering memandang bintang-bintang di malam hari, bertanya-tanya apakah ada dunia lain di luar dunianya yang kecil.


Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang, Joana mendengar suara misterius yang memanggil namanya. Suara itu datang dari bagian hutan yang tidak pernah ia jelajahi sebelumnya. Terdorong oleh rasa penasaran, Joana mengikuti suara itu hingga ia tiba di sebuah tempat tersembunyi.


Di sana, ia menemukan sebuah cermin besar yang berdiri di tengah-tengah pohon-pohon tua. Permukaan cermin itu berkilauan seperti air, dan ketika Joana melihat ke dalamnya, ia terkejut. Bayangan di dalam cermin itu adalah dirinya, tetapi tampak lebih anggun dan berwibawa, dengan bulu berwarna emas yang bersinar lembut.


“Siapa kau?” Joana bertanya dengan suara gemetar.


“Aku adalah dirimu di dunia lain, dunia yang penuh keajaiban,” jawab bayangannya. “Sentuh cermin ini, dan aku akan menunjukkanmu seperti apa hidupmu yang seharusnya.”


Joana ragu sejenak, tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia menyentuh permukaan cermin, dan dalam sekejap, ia merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pusaran cahaya.


Ketika ia membuka matanya, Joana mendapati dirinya berada di hutan yang berbeda. Pohon-pohonnya menjulang tinggi dengan daun-daun yang bercahaya, dan udara di sekitarnya dipenuhi aroma manis bunga-bunga. Hewan-hewan di hutan itu menyambutnya dengan hormat.


“Selamat datang, Joana,” kata seekor burung hantu besar yang bertengger di salah satu cabang pohon. “Kau adalah penjaga hutan ini, pemimpin yang bijaksana.”


Joana merasa kagum. Di dunia ini, ia memiliki kekuatan untuk memimpin dan dihormati oleh semua hewan. Mereka mengandalkannya untuk menjaga keseimbangan hutan, dan Joana merasa hidupnya akhirnya memiliki tujuan.


Namun, setelah beberapa waktu, Joana mulai merasakan sesuatu yang aneh. Setiap malam, ia mendengar suara tangisan dari bagian hutan yang gelap. Ketika ia bertanya kepada hewan-hewan lain, mereka hanya mengatakan, “Itu adalah bagian dari hutan yang terlarang. Jangan pergi ke sana.”


Rasa penasaran Joana semakin besar. Suatu malam, ia memutuskan untuk pergi ke bagian hutan itu sendiri. Di sana, ia menemukan tempat yang berbeda dari hutan lainnya. Pohon-pohonnya kering, tanahnya tandus, dan hewan-hewan di sana tampak kurus dan lemah.


“Kenapa kalian hidup seperti ini?” tanya Joana kepada seekor kelinci kecil yang tampak lemah.


“Kami tidak tahu,” jawab kelinci itu dengan suara pelan. “Semua keindahan di dunia ini berasal dari energi yang diambil dari bagian hutan ini. Kami harus menanggung penderitaan agar dunia lain tetap indah.”


Joana terkejut. Ia menyadari bahwa dunia sempurna yang ia nikmati datang dengan harga yang besar—penderitaan makhluk-makhluk lain. Ia kembali ke cermin untuk mencari jawaban.


Ketika ia bertanya pada bayangannya di cermin, sosok itu tersenyum tipis. “Inilah dunia yang kau inginkan, bukan? Dunia di mana kau dihormati, tetapi kebahagiaanmu datang dengan mengorbankan yang lain.”


Joana merasa hatinya berat. Ia tidak bisa menikmati hidup seperti itu. “Aku tidak ingin kebahagiaan yang melukai orang lain,” katanya tegas.


“Jika itu keputusanmu, kau bisa kembali ke duniamu,” kata bayangannya. “Tetapi ingat, dunia yang sempurna tidak ada. Kebahagiaan sejati berasal dari apa yang kau lakukan untuk orang lain.”


Joana menyentuh cermin, dan dalam sekejap ia kembali ke hutan asalnya. Hutan itu tidak bercahaya, hewan-hewan tidak memujanya, tetapi Joana merasa lebih bahagia. Ia mulai membantu hewan-hewan di sekitarnya dengan kecerdasannya, memastikan bahwa tidak ada yang merasa terabaikan.


Moral: Kebahagiaan sejati tidak datang dari kesempurnaan, tetapi dari keberanian untuk memilih kebaikan dan keadilan, meskipun itu berarti melepaskan mimpi yang tampak indah.

Hutan Bayangan: Dunia Rusa Emas


Sumber : https://pin.it/5GJ35m1SP


 Di sebuah hutan lebat yang tersembunyi dari manusia, tinggal seekor rusa muda bernama Luma. Tubuhnya kecil dan kurus dibandingkan rusa-rusa lain, sehingga ia sering diejek dan dianggap tidak berguna oleh kawanan. Luma selalu merasa bahwa ia tidak memiliki tempat di dunia ini.


Suatu malam, saat bulan bersinar terang, Luma menemukan sebuah danau yang airnya begitu jernih hingga memantulkan bayangan seperti cermin. Saat ia menatap bayangannya di permukaan air, ia terkejut melihat sosok rusa lain yang memiliki tanduk emas bercahaya.


“Sapalah aku, Luma,” suara itu berkata, meski tidak ada mulut yang bergerak.


Luma melangkah mundur ketakutan, tapi rasa penasaran menguasainya. “Siapa kau?” tanyanya.


“Aku adalah kau di dunia paralel, dunia yang penuh dengan keajaiban. Sentuh air ini, dan aku akan menunjukkan duniamu yang lain.”


Tanpa berpikir panjang, Luma mencelupkan kakinya ke dalam air. Seketika, ia merasa tubuhnya seperti melayang. Saat membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di hutan yang berbeda. Pohon-pohonnya lebih tinggi dari gunung, bunga-bunganya bercahaya, dan udara di sekitarnya penuh dengan aroma manis yang memabukkan.


Yang lebih mengejutkan, Luma bukan lagi rusa biasa. Tubuhnya kini dihiasi tanduk emas bercahaya, dan semua hewan di hutan memanggilnya “Rusa Emas, Penjaga Hutan.”


Luma mulai menjalani kehidupan barunya. Di dunia ini, ia dihormati, dipuja, dan dianggap sebagai pemimpin. Namun, ada satu aturan yang harus ia patuhi: ia tidak boleh meninggalkan pusat hutan, tempat energi kehidupannya berasal. Jika ia melanggar, kekuatannya akan menghilang.


Awalnya, Luma merasa bahagia dengan kehidupannya sebagai pemimpin yang dihormati. Namun, ia mulai mendengar cerita dari hewan-hewan lain tentang bagian hutan yang gelap dan penuh penderitaan, di mana hewan-hewan lemah seperti dirinya di dunia asal tidak mendapatkan perlindungan.


Luma memutuskan untuk melanggar aturan dan pergi ke bagian hutan tersebut. Ia menemukan hewan-hewan yang kelaparan dan ketakutan, terjebak di tempat yang suram. Mereka memohon bantuan padanya, tetapi saat ia mencoba menggunakan kekuatannya, cahaya di tanduk emasnya mulai memudar.


Luma teringat kata-kata dari rusa emas di dunia cermin: kekuatannya hanya akan bertahan jika ia tetap di pusat hutan. Namun, ia tidak tahan melihat penderitaan mereka. Dengan keberanian, ia melepaskan semua kekuatan emasnya untuk membantu hewan-hewan yang terluka, membagikan cahaya terakhir dari tanduknya.


Ketika cahaya terakhir memudar, Luma merasa tubuhnya ringan, seolah-olah ia melayang. Ia terbangun di dunia asalnya, di tepi danau yang kini terlihat biasa saja. Namun, ia tidak lagi merasa seperti rusa kecil yang lemah.


Kawanan rusa di hutan mulai memperhatikan perubahan dalam diri Luma. Ia tidak lagi takut untuk berbicara, melawan ketidakadilan, dan melindungi mereka yang lemah. Meski tidak memiliki tanduk emas, Luma kini menjadi penjaga sejati di dunianya sendiri.


Moral: Terkadang, keberanian untuk melawan ketakutan dan membantu orang lain lebih berharga daripada kekuatan apapun yang bisa kita miliki.

Kerajaan Cermin: Dunia Tanpa Suara

                             Sumber : https://pin.it/2Nbn1FAKx

 

 Raka adalah seekor kucing liar yang hidup di gang-gang sempit kota. Tubuhnya penuh luka, dan ia sering kelaparan. Ia selalu bermimpi hidup seperti kucing rumahan yang dimanjakan, memiliki tempat tidur hangat, dan makanan yang melimpah. Suatu malam, saat ia mencari makan di tumpukan sampah, ia menemukan sebuah cermin kecil yang tergeletak di dekat toko tua.


Ketika ia menatap cermin itu, ia merasa aneh. Bayangannya di dalam cermin tidak terlihat lusuh dan lemah seperti dirinya, melainkan gagah dan bersih dengan bulu yang berkilauan. Tiba-tiba, cermin itu bersinar terang, dan Raka merasa tubuhnya ditarik masuk.


Saat membuka matanya, Raka berada di dunia lain. Dunia ini penuh dengan hewan-hewan yang bisa berbicara, berpakaian, dan berjalan seperti manusia. Yang paling mengejutkan, ia adalah raja di dunia ini. Semua hewan memanggilnya "Raja Raka" dan membungkuk hormat.


Awalnya, Raka sangat menikmati kehidupannya di dunia baru ini. Ia memiliki istana megah, makanan tak terbatas, dan pengawal setia berupa anjing besar bernama Toro. Namun, ia segera menyadari ada sesuatu yang aneh. Semua hewan di kerajaan ini tidak pernah berbicara dengan lantang, melainkan hanya berkomunikasi melalui isyarat atau tulisan. Dunia ini sepenuhnya tanpa suara.


Raka penasaran dan bertanya pada Toro, “Mengapa tidak ada yang berbicara di sini?” Toro menjawab melalui tulisan di pasir: “Dulu, ada suara di dunia ini. Tapi para penghuni terlalu sibuk dengan perselisihan, hingga suara mereka diambil oleh Cermin Penjaga Dunia.”


Raka merasa bingung. Sebagai raja, ia merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan suara itu. Ia bertanya pada cermin yang membawanya ke dunia ini, dan cermin itu berkata, “Hanya raja sejati yang dapat memulihkan suara dunia ini, tetapi kau harus mengorbankan sesuatu yang berharga.”


Setelah perjalanan panjang melintasi hutan, gua, dan rawa beracun, Raka akhirnya menemukan inti kekuatan dunia ini: sebuah kristal biru raksasa yang memancarkan cahaya redup. Untuk memulihkan suara dunia, ia harus melepaskan keinginan terdalamnya—yaitu untuk hidup nyaman sebagai raja.


Raka ragu. Dunia ini memberinya semua yang ia inginkan, tetapi ia juga tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kenyamanan semata. Dengan keberanian, ia menyentuh kristal itu dan berbisik, “Aku mengorbankan mimpiku demi kebahagiaan semua orang.”


Seketika, suara kembali ke dunia itu. Hewan-hewan berteriak kegirangan, saling berbicara, dan bernyanyi untuk merayakan kebebasan mereka. Namun, Raka merasa tubuhnya mulai memudar. Ia terbangun kembali di gang kotanya, dengan cermin kecil itu tergeletak di sampingnya.


Meskipun kembali ke kehidupannya yang keras, Raka merasa berbeda. Ia belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari apa yang ia miliki, tetapi dari apa yang ia berikan kepada orang lain.


Moral: Kebahagiaan sejati bukan tentang memiliki segalanya, tetapi tentang memberikan yang terbaik untuk dunia di sekitar kita.

Senin, 20 Januari 2025

Langit Jingga yang Terpecah

 

Sumber : https://pin.it/77vHkTa7e

Senja selalu menjadi waktu favorit Naira. Ia suka duduk di balkon kamarnya, memandangi langit jingga dan bermimpi tentang dunia yang lebih indah. Hidupnya terasa begitu monoton: sekolah, pulang, belajar, dan tidur. Di sisi lain, ia memiliki rasa penasaran yang mendalam tentang apa yang ada di luar dunia yang ia kenal.


Sore itu, ketika ia sedang melamun, sebuah cahaya aneh melintas di langit. Awalnya ia mengira itu hanya kilatan petir, tetapi warna cahaya itu—biru terang bercampur ungu—terasa tidak biasa. Tiba-tiba, sebuah retakan kecil muncul di udara, tepat di depan balkon kamarnya. Retakan itu seperti cermin yang pecah, tapi di baliknya terlihat sesuatu: dunia lain.


Naira mendekat. Ia merasakan angin dingin dari retakan itu, dan tanpa berpikir panjang, ia menyentuhnya. Seketika itu juga, ia tersedot ke dalamnya. Ketika membuka matanya, ia terkejut. Dunia ini seperti cerminan dunia yang ia tinggalkan, tetapi semuanya terasa lebih cerah, lebih indah. Langitnya berwarna biru kehijauan dengan awan berbentuk aneh. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun yang bersinar.


Yang paling mengejutkan, ia bertemu dengan seorang gadis yang mirip dirinya, tetapi memiliki rambut berwarna perak dan mata ungu. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Naia. “Akhirnya kau datang,” kata Naia.


“Apa maksudmu?” tanya Naira.


“Kita berasal dari dunia paralel. Dunia kita adalah cerminan satu sama lain, tetapi ada satu perbedaan besar: di dunia ini, aku adalah kau yang berani mengambil risiko dan tidak takut menghadapi apa pun.”


Naia menunjukkan kehidupannya. Di dunia ini, Naira adalah seorang penjelajah yang terkenal. Ia sudah menjelajahi tempat-tempat paling berbahaya di dunia paralel ini dan dikenal sebagai pahlawan. Naira merasa iri, tetapi juga kagum. “Aku tidak seperti itu,” kata Naira pelan.


Naia tersenyum. “Aku juga pernah takut, tapi aku belajar bahwa keberanian bukan berarti tidak takut. Keberanian adalah melangkah meski kau takut.”


Namun, Naira mulai menyadari sesuatu yang aneh. Dunia ini terlalu sempurna. Tidak ada konflik, tidak ada kesulitan, dan semuanya terasa… kosong. Ketika ia menanyakan hal ini kepada Naia, gadis itu terdiam. “Itu harga yang harus kami bayar. Di dunia ini, tidak ada rasa sakit, tapi juga tidak ada kebahagiaan sejati. Semuanya hanya ilusi.”


Naira tertegun. Ia menyadari bahwa kesempurnaan yang ia cari selama ini mungkin bukan yang ia butuhkan. “Aku ingin pulang,” katanya akhirnya.


Naia mengangguk. “Kau harus melompati portal itu sebelum matahari terbenam, atau kau akan terjebak di sini selamanya.”


Dengan hati berat, Naira melangkah menuju portal yang muncul di langit. Sebelum pergi, Naia memegang tangannya. “Ingat, kau punya keberanian di dalam dirimu. Dunia yang kau tinggalkan adalah tempat di mana kau bisa tumbuh dan menjadi lebih kuat.”


Ketika Naira kembali ke dunianya, langit sudah berubah menjadi gelap. Namun, ia merasa berbeda. Ia tidak lagi melihat hidupnya sebagai sesuatu yang membosankan. Dunia ini, dengan semua kekurangannya, adalah tempat di mana ia bisa menemukan kebahagiaan sejati.


Moral: Dunia yang sempurna tidak ada. Keindahan hidup terletak pada perjuangan dan keberanian untuk terus melangkah.


Senin, 13 Januari 2025

Kota di Balik Kabut

 

Sumber : Gambar yang dihasilkan AI

Rian dan teman-temannya—Dimas, Fira, dan Lala—mengadakan camping di sebuah hutan yang terkenal dengan legenda mistisnya. Mereka mendengar cerita bahwa ada kota tersembunyi di balik kabut tebal, tapi mereka menganggapnya hanya mitos.

Saat perjalanan pulang, kabut tebal tiba-tiba turun dan menutupi jalan setapak. Mereka mencoba mengikuti rute yang biasa mereka gunakan, tetapi kabut itu seakan mengubah arah mereka. Setelah beberapa jam berjalan, mereka keluar dari kabut dan menemukan sebuah kota kecil yang aneh.

Kota itu sunyi, tidak ada suara kendaraan atau aktivitas biasa. Orang-orang di sana berpakaian seperti dari abad ke-18, dengan gaun panjang dan topi tinggi. Mereka memandang Rian dan teman-temannya dengan tatapan aneh, seolah-olah mereka adalah makhluk asing.

Seorang pria tua menghampiri mereka. “Selamat datang di Kota Asvara,” katanya. “Kalian pasti tersesat di kabut, bukan?”

Rian merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia terlalu lelah untuk bertanya. Pria tua itu menawarkan mereka tempat tinggal sementara di rumahnya. Rumah itu nyaman, tetapi Rian merasa udara di kota ini terlalu sunyi, seperti tidak ada burung atau suara angin.

Selama beberapa hari di kota itu, mereka mulai merasa aneh. Penduduk kota memperlakukan mereka dengan baik, tetapi tidak pernah menjawab pertanyaan mereka tentang bagaimana cara keluar. Rian juga menyadari bahwa tidak ada anak-anak di kota itu.

Saat menjelajahi kota sendirian, Rian menemukan sebuah ruang bawah tanah di balik gereja tua. Di sana, ia menemukan buku-buku dan catatan yang menjelaskan asal-usul kota itu. Ternyata, kota ini adalah jebakan dari dunia paralel. Orang-orang yang masuk ke kota ini harus menyerahkan ingatan masa depan mereka. Mereka akan melupakan dunia asal mereka dan hidup selamanya di sini.

Rian langsung kembali ke rumah pria tua itu dan memperingatkan teman-temannya. Mereka mencoba kabur, tetapi penduduk kota mulai mengejar mereka. Kabut tebal kembali muncul, dan mereka harus menemukan jalan keluar sebelum mereka terjebak selamanya.

Setelah perjuangan panjang, mereka berhasil keluar dari kabut dan kembali ke dunia mereka. Namun, pengalaman itu meninggalkan bekas. Mereka menyadari bahwa kebebasan untuk memilih hidup mereka sendiri, meskipun penuh tantangan, jauh lebih berharga daripada kenyamanan palsu.

Moral: Kebebasan untuk memilih, meskipun sulit, adalah hak yang harus kita hargai.

Jam Tangan yang Menembus Dimensi

 

Sumber : https://pin.it/31de8wm4k

Faisal adalah siswa biasa yang hidupnya terasa membosankan. Suatu hari, ia menemukan sebuah jam tangan antik di pasar loak. Penjualnya berkata, “Jam ini bisa membawamu ke kehidupan yang berbeda, tapi hati-hati dengan apa yang kau inginkan.” Faisal hanya tertawa dan membelinya karena harganya murah.


Di rumah, ia mencoba memutar jarum jam itu mundur, dan tiba-tiba ia merasa pusing. Saat ia membuka matanya, ia berada di tempat yang asing. Dunia itu terasa sama, tetapi berbeda. Jalanan lebih bersih, mobil melayang, dan orang-orang memandang Faisal dengan kagum.


Faisal segera menyadari bahwa di dunia ini, ia adalah seorang ilmuwan muda yang sangat dihormati. Orang-orang memanggilnya “Profesor Faisal.” Meski awalnya merasa bangga, Faisal mulai merasa hampa. Ia tidak memiliki teman, keluarganya tidak lagi mengenalinya, dan hidupnya penuh tekanan untuk terus menciptakan sesuatu yang luar biasa.


Faisal memutar jarum jam lagi, berharap kembali ke dunia asalnya. Tetapi ia malah terjebak di dunia lain, di mana ia adalah seorang atlet terkenal. Di dunia ini, ia memiliki segalanya—kekayaan, penggemar, dan popularitas. Namun, ia merasa kesepian karena tidak ada yang benar-benar peduli padanya sebagai individu.


Setelah mencoba beberapa dunia paralel lainnya, Faisal akhirnya menyadari bahwa tidak ada kehidupan yang sempurna. Ia memutar jarum jam untuk kembali ke dunianya sendiri. Saat ia kembali, ia merasa lega. Hidupnya memang biasa saja, tetapi ia memiliki sahabat, keluarga, dan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.


Moral: Hidup kita, meski tidak sempurna, adalah sesuatu yang harus kita syukuri.

Toko Buku Dari Dimensi Lain

 


Sumber : https://pin.it/5xRaOyEao

Alya adalah siswi SMA yang merasa hidupnya biasa-biasa saja. Prestasinya tidak menonjol, ia tidak terlalu populer, dan mimpinya menjadi seorang penulis sering dianggap remeh oleh teman-temannya. Satu-satunya pelarian Alya adalah membaca buku. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di toko buku kecil yang ada di dekat rumahnya, mencari novel yang bisa membawanya ke dunia lain.

Suatu sore, setelah hari yang melelahkan di sekolah, Alya berjalan ke toko buku favoritnya. Namun, ia terkejut saat menemukan toko itu sudah tutup. Saat ia berdiri kebingungan, ia melihat sebuah toko baru di gang kecil yang sebelumnya tidak pernah ia perhatikan. Papan nama toko itu bertuliskan "Cerita dari Dunia Paralel."

Penasaran, Alya masuk. Toko itu terasa berbeda. Cahaya redup, rak-rak buku menjulang tinggi, dan udara di dalamnya terasa sejuk tapi aneh, seperti tempat itu berada di luar waktu. Seorang pria tua berdiri di belakang meja kasir. Wajahnya tenang, tapi matanya memancarkan misteri.
“Selamat datang, Alya,” katanya tanpa diminta.

Alya terkejut. “Bagaimana Anda tahu nama saya?”

“Buku-buku di sini adalah cerita dari kehidupanmu di dunia paralel,” jawab pria itu sambil menunjuk ke salah satu rak.

Dengan ragu, Alya berjalan mendekati rak tersebut. Ia mengambil sebuah buku yang menarik perhatiannya. Sampulnya hitam dengan namanya tertulis besar: "Alya: Penulis Jenius yang Kesepian." Tangan Alya gemetar saat membuka halaman pertama.

Di dalamnya, Alya menemukan kisah hidupnya—tapi bukan seperti yang ia jalani sekarang. Di dunia paralel itu, Alya adalah seorang penulis terkenal. Novel-novelnya menjadi buku terlaris, dan ia hidup di apartemen mewah di kota besar. Semua orang memujanya, dan namanya sering disebut dalam acara penghargaan.

Awalnya, Alya merasa iri dengan dirinya di dunia lain. Tapi, semakin jauh ia membaca, semakin hampa ia rasakan. Alya di dunia paralel itu hidup sendirian. Ia memutuskan hubungan dengan keluarganya karena mereka tidak mendukung mimpinya. Teman-teman lamanya menjauh karena ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Halaman terakhir buku itu membuat Alya menangis. Di sana tertulis: “Alya duduk di balkon apartemennya yang luas, memandang lampu kota. Ia memiliki segalanya, tapi ia merasa tidak memiliki apa-apa.”

Alya menutup buku itu dengan perasaan campur aduk. Pria tua itu mendekatinya. “Apa kau ingin bertukar tempat dengan Alya di dunia itu?” tanyanya.

Alya menggeleng. “Tidak. Aku ingin sukses, tapi aku tidak ingin kehilangan orang-orang yang penting dalam hidupku.”

Saat ia keluar dari toko itu, Alya merasa seperti baru bangun dari mimpi. Ketika ia berbalik untuk melihat toko itu lagi, toko itu sudah menghilang.

Sejak hari itu, Alya tidak lagi merasa iri pada kehidupan orang lain atau terbebani oleh ambisi berlebihan. Ia tetap berusaha meraih mimpinya, tetapi kali ini ia melakukannya dengan penuh rasa syukur atas apa yang sudah ia miliki.

Moral: Kesuksesan tidak berarti apa-apa jika kita kehilangan hal-hal yang benar-benar berharga.