Senin, 13 Januari 2025

Kupu-kupu di Dunia Sebelah

Sumber : https://pin.it/5bCTmgjgf

Kupu-kupu di Dunia Sebelah


Naya adalah siswi SMA yang pendiam dan suka menyendiri. Dia tidak punya banyak teman dan sering merasa hidupnya monoton. Setiap sore, Naya duduk di bangku taman sekolah sambil menggambar di buku sketsanya. Di antara semua hal yang ia gambar, satu objek selalu muncul: seekor kupu-kupu biru.


Suatu hari, saat hujan reda, Naya melihat kupu-kupu biru sungguhan terbang di sekitar taman. Ukurannya lebih besar dari kupu-kupu biasa, dan warnanya bercahaya seperti berlian. Penasaran, Naya memutuskan mengikuti kupu-kupu itu yang terus terbang ke arah hutan di belakang sekolah.


“Naya! Jangan masuk ke hutan, nanti kamu tersesat!” teriak seorang teman sekelasnya. Tapi Naya tak peduli. Hutan itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang memanggilnya.


Kupu-kupu itu berhenti di depan sebuah gerbang besar yang bercahaya. Cahaya itu begitu menyilaukan hingga Naya harus menutup matanya. Ketika ia membuka mata kembali, Naya sadar ia sudah berada di tempat yang asing.


Langit di tempat itu berwarna ungu. Pohon-pohon bercahaya seperti lampu, dan hewan-hewan yang berkeliaran tidak hanya berjalan, tapi juga berbicara. Seekor rusa mendekatinya.

“Selamat datang, manusia,” kata rusa itu.


Naya terkejut, tapi ia terlalu penasaran untuk takut. Kupu-kupu biru itu melayang di depan wajahnya dan mulai berbicara dengan suara lembut.

“Kamu dipanggil ke dunia ini untuk membantu kami.”


Naya masih kebingungan. “Membantu? Aku bahkan tidak tahu di mana aku berada.”


Kupu-kupu menjelaskan bahwa dunia itu adalah paralel dari dunia manusia, tetapi di sini, manusia dan hewan dulunya hidup berdampingan. Namun, konflik mulai muncul. Hewan-hewan merasa manusia terlalu serakah, sementara manusia merasa hewan-hewan tidak berterima kasih. Kupu-kupu biru, yang ternyata adalah penjaga dunia itu, mempercayai bahwa hanya Naya yang bisa membawa perdamaian karena hatinya bersih dan ia melihat keindahan di setiap makhluk hidup.


Naya ragu. “Aku? Aku bahkan tidak bisa berbicara di depan kelas tanpa gemetar. Kenapa aku?”


“Karena terkadang, keberanian datang dari hati yang paling sunyi,” jawab kupu-kupu.


Dibimbing oleh kupu-kupu, Naya mulai bertemu dengan berbagai pemimpin hewan: singa yang arogan, burung gagak yang licik, dan rusa yang bijaksana. Di sisi lain, ia juga bertemu dengan manusia-manusia dari dunia itu yang merasa hewan-hewan terlalu egois. Naya mendengarkan kedua sisi cerita dengan saksama.


Setelah berhari-hari mencoba menemukan solusi, Naya akhirnya menyadari sesuatu: kedua pihak terlalu sibuk menyalahkan satu sama lain sehingga mereka lupa bahwa mereka pernah hidup harmonis. Ia memutuskan untuk mengadakan pertemuan besar di lapangan terbuka, tempat manusia dan hewan bisa berbicara bersama.


Di hari pertemuan itu, Naya berdiri di tengah lapangan dengan gugup. Semua mata tertuju padanya, dari singa hingga manusia-manusia yang penuh kecurigaan. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mulai berbicara.


“Kita semua saling membutuhkan. Hewan, kalian mungkin merasa manusia merusak dunia kalian, tapi ingatlah, mereka juga yang melindungi kalian selama ini. Manusia, kalian merasa hewan hanya membebani, tapi bukankah kalian juga belajar banyak dari mereka—tentang keindahan, kesetiaan, dan keberanian?”


Suasana hening sejenak. Perlahan, hewan dan manusia mulai berbicara dari hati ke hati. Naya menyaksikan keajaiban terjadi: permusuhan berubah menjadi pengertian, dan dunia paralel itu kembali harmonis seperti dulu.


Setelah tugasnya selesai, kupu-kupu biru menghampiri Naya. “Kau sudah membuktikan bahwa suara kecil pun bisa membawa perubahan besar.”


Sebelum Naya sempat menjawab, cahaya terang menyelimutinya. Ketika ia membuka matanya, ia sudah kembali di taman sekolah, dengan buku sketsanya di pangkuan.


Namun, ada sesuatu yang berbeda. Kini, di samping gambarnya yang berisi kupu-kupu biru, ada catatan kecil yang tidak ia tulis: “Jangan pernah meremehkan hatimu sendiri. Dunia ini pun bisa kau ubah.”


Sejak hari itu, Naya mulai percaya pada dirinya sendiri. Ia tidak lagi takut berbicara atau mencoba hal-hal baru, karena ia tahu bahwa keberanian bukan berarti tidak takut, melainkan melangkah meski rasa takut itu ada.


Moral: Keberanian bukanlah soal kekuatan fisik, tetapi keyakinan pada diri sendiri bahwa kita bisa membuat perubahan, sekecil apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar